Home » Esai dan Opini » Fenomena Budaya Flexing di Media Sosial Sebagai Bentuk Perubahan Budaya dan Pengaruh Sosial di Masyarakat Modern

Fenomena Budaya Flexing di Media Sosial Sebagai Bentuk Perubahan Budaya dan Pengaruh Sosial di Masyarakat Modern

admin 04 Nov 2025 164

By: Rafaza Pramudito. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia maya dipenuhi dengan berbagai unggahan yang menampilkan kemewahan: mobil mewah, liburan ke luar negeri, pakaian bermerek, hingga makan di restoran mahal. Fenomena ini dikenal luas dengan istilah “flexing”, yaitu perilaku memamerkan kekayaan atau pencapaian di media sosial. Meski sekilas tampak seperti ekspresi kebanggaan pribadi, fenomena ini sesungguhnya mencerminkan perubahan budaya dan pengaruh sosial yang signifikan di masyarakat modern. Media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga panggung identitas, tempat di mana status sosial dan eksistensi diri ditampilkan serta diukur melalui “likes” dan “views”.

Perubahan Budaya di Era Digital Budaya

Masyarakat Indonesia dahulu sangat menjunjung tinggi nilai kesederhanaan dan kebersamaan. Namun, arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar. Media sosial menjadi ruang baru yang menggeser cara individu berinteraksi dan membangun identitas. Nilai kesederhanaan kini bersaing dengan budaya pencitraan, di mana yang tampak di layar seringkali dianggap lebih penting daripada kenyataan. Orang tidak hanya ingin hidup nyaman, tetapi ingin terlihat hidup nyaman. Perubahan ini menunjukkan bagaimana budaya materialistik dan individualistik mulai tumbuh di tengah masyarakat yang dulunya lebih kolektif. Fenomena flexing menjadi simbol dari pergeseran nilai tersebut dari orientasi pada kesederhanaan menuju pencapaian status sosial melalui kepemilikan barang dan gaya hidup. Hal ini juga memperlihatkan pengaruh kuat media sosial sebagai agen sosialisasi baru yang membentuk perilaku dan pandangan masyarakat, terutama generasi muda.

Teori Interaksionisme Simbolik: Makna di Balik “Pamer”

Untuk memahami fenomena ini, teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh Herbert Blumer sangat relevan. Teori ini berangkat dari gagasan bahwa makna sosial terbentuk melalui interaksi antara individu dan simbol. Dalam konteks flexing, foto-foto kemewahan, video unboxing barang mewah, atau unggahan liburan ke tempat eksklusif menjadi simbol status dan keberhasilan.

Makna dari simbol tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi dihasilkan dari proses interaksi sosial di dunia maya. Ketika seseorang melihat unggahan flexing, mereka menafsirkan makna tertentu misalnya, “orang ini sukses”, “hidupnya bahagia”, atau bahkan “aku ingin seperti dia”. Dalam proses itu, muncul perilaku imitasi atau keinginan untuk meniru demi mendapatkan pengakuan sosial yang sama. Di sinilah terlihat bagaimana media sosial menjadi arena pembentukan makna dan identitas. Orang tidak hanya berbagi momen hidup, tetapi juga “menjual” citra diri mereka kepada publik. Teori Konsumsi Masyarakat (Jean Baudrillard): Gaya Hidup Sebagai Simbol Selain itu, fenomena flexing juga bisa dijelaskan melalui teori konsumsi masyarakat dari Jean Baudrillard. Menurutnya, masyarakat modern tidak lagi mengonsumsi barang hanya karena fungsinya, tetapi karena makna simbolik yang melekat pada barang tersebut. Barang mewah, misalnya, bukan sekadar alat, melainkan simbol gengsi, prestise, dan status sosial.

Dalam konteks media sosial, konsumsi menjadi bagian dari pertunjukan identitas. Ketika seseorang membeli tas bermerek atau mengunggah video di kafe mahal, tujuan utamanya bukan hanya menikmati produk, melainkan menunjukkan identitas sosial tertentu kepada publik. Flexing, dengan demikian, menjadi bentuk komunikasi sosial: individu menyampaikan pesan tentang siapa dirinya, seberapa “bernilai” dia di mata orang lain, dan kelompok sosial mana yang ingin dia masuki.

Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “simulacra”, yaitu realitas semu di mana tanda dan simbol lebih penting daripada realitas itu sendiri. Kehidupan di media sosial menjadi semacam “panggung sandiwara” tempat individu memainkan peran sosial melalui simbol-simbol konsumsi. Dalam dunia seperti ini, yang penting bukan lagi siapa kita sebenarnya, melainkan bagaimana kita tampil dan diakui. Dampak Sosial dan Psikologis. Fenomena flexing membawa dampak yang kompleks bagi masyarakat. Di satu sisi, ia dapat memotivasi sebagian orang untuk bekerja lebih keras, mengejar prestasi, dan memperbaiki taraf hidup. Namun, di sisi lain, ia juga menimbulkan tekanan sosial yang besar. Banyak orang merasa rendah diri atau tidak cukup berhasil karena membandingkan diri dengan citra ideal yang ditampilkan orang lain. Padahal, apa yang tampak di media sosial seringkali hanya potongan terbaik dari kehidupan seseorang, bukan realitas utuh.

Selain itu, budaya flexing dapat memperkuat ketimpangan sosial. Orang yang tidak mampu meniru gaya hidup “mewah” bisa merasa terpinggirkan atau minder. Bahkan, ada yang nekat berhutang, memalsukan gaya hidup, atau melakukan hal-hal ekstrem demi menjaga citra di dunia maya. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pengaruh sosial dapat mengubah perilaku individu secara drastis, bahkan melampaui batas rasionalitas. Refleksi dan Tantangan Budaya.

Budaya flexing menunjukkan bahwa perubahan budaya tidak selalu bersifat negatif, tetapi harus dipahami secara kritis. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi kreativitas dan ekspresi diri; di sisi lain, ia juga menumbuhkan budaya kompetisi sosial yang dangkal. Tantangannya adalah bagaimana masyarakat, terutama generasi muda, bisa memaknai ulang nilai kesuksesan bukan dari seberapa banyak barang yang bisa ditunjukkan, tetapi dari kontribusi dan dampak positif yang bisa diberikan kepada orang lain. Pendidikan karakter dan literasi digital menjadi penting untuk membangun kesadaran kritis terhadap budaya digital. Masyarakat perlu belajar memilah antara realitas dan citra, antara pencapaian sejati dan pencitraan. Dengan begitu, media sosial bias kembali menjadi ruang berbagi inspirasi, bukan ajang kompetisi status.

Fenomena flexing di media sosial mencerminkan perubahan budaya besar yang sedang terjadi di masyarakat modern. Ia menunjukkan bagaimana interaksi sosial kini bergeser dari dunia nyata ke dunia maya, dan bagaimana simbol-simbol konsumsi menjadi alat komunikasi baru dalam membangun identitas diri. Melalui teori interaksionisme simbolik dan teori konsumsi Baudrillard, kita memahami bahwa perilaku flexing bukan sekadar soal pamer harta, tetapi cermin dari struktur sosial dan nilai-nilai budaya yang sedang berubah. Pada akhirnya, fenomena ini mengingatkan kita bahwa di balik layar gawai dan gemerlap media sosial, terdapat kebutuhan manusia yang paling mendasar: diakui, dihargai, dan diterima. Pertanyaannya adalah, sampai kapan kita akan terus mengukur kebahagiaan dari apa yang tampak, bukan dari apa yang benar-benar kita rasakan?

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah di Tengah GempuranGlobalisasi

admin

30 Nov 2025

By: Fitriani Saragih. Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya raya, tidak hanya akan sumber daya alam, tetapi  juga kekayaan budaya  dan  bahasa. Dengan  lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar dari  Sabang   sampai  Merauke,  bahasa-bahasa  ini merupakan  pilar  utama identitas lokal dan  nasional. Namun,  di tengah  arus  deras globalisasi dan  dominasi bahasa internasional  serta  Bahasa …

PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT

admin

30 Nov 2025

By: Rizki Rahmat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Salah satu fenomena sosial terluas di abad ke-21 adalah media sosial,seperti Instagram, TikTok, X, dan Facebook. Seringkali dikenal dengan nama X (dibaca Twitter),media sosial berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun, itu juga membentuk perilaku dan cara berpikir yang membentuk masyarakat. Saya …

PERANAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

admin

30 Nov 2025

By: Khairun Nisa Dalam media pembelajaran merupakan komunikasi antara seorang guru dan siswa melalui sebuah alat dan Teknik (Ramadhan,2020). Proses pembelaajaran di sekolah dapat menjadi efektif Ketika komunikasi dan berinteraksi anatra guru dan siswa menggunakan sebuah media pembelajaran berupa alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan informasi dalam pembelajaran. Media juga berfungsi sebagai alat untuk …

Pengembangan Dan Revisi Bahan Ajar Non Cetak

admin

12 Nov 2025

By: Lola Musfira. Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia Pendidikan, terutama dalam cara guru menyajikan materi pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia, sebagai salah satu mata pelajaran inti, kini tidak lagi hanya berfokus pada penguasaan teori kebahasaan, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Salah satu materi yang saya ambil …

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Kritis dan Bermakna Melalui Materi Debat

admin

04 Nov 2025

Pendahuluan Pembelajaran Bahasa Indonesia sering kali dilihat hanya sebagai upaya melatih kemampuan membaca, menulis, dan tata bahasa yang benar. Namun, di balik struktur kalimat dan diksi yang tepat, mata pelajaran ini memegang peran krusial dalam pembentukan nalar dan karakter. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi opini saat ini, kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi secara …

Pengaruh Tiktok Terhadap Perubahan Tingkah Laku Remaja

admin

04 Nov 2025

By: Mawaddah Rahmah. Di tengah dunia yang bergerak secepat guliran jempol di layar ponsel, TikTok muncul sebagai ruang baru tempat para remaja belajar mengenal dunia, dan mungkin, mengenal dirinya sendiri. Setiap tarian, potongan musik, dan video  singkat menjadi semacam bahasa yang dipahami generasi sekarang, bahasa tanpa buku teks, tapi penuh makna sosial. Di ruang digital …