Home » Esai dan Opini » Efek Mayoritas dalam Normalisasi Penyimpangan

Efek Mayoritas dalam Normalisasi Penyimpangan

admin 04 Nov 2025 92

By: Jun Anas’Ash Ritonga. Manusia seringkali menghadapi ketidakpastian antara benar dan salah dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu diciptakanlah aturan berupa hukum maupun norma berdasarkan nilai moral yang ada. Aturan diciptakan sebagai pembatas bagi perilaku manusia untuk menjaga ketertiban dan keteraturan. Perilaku mayoritas dalam masyarakat menjadi faktor penting supaya aturan tetap berjalan sebagaimanamestinya.

Dalam psikologi sosial, ada sebuah konsep yang dinamakan Konformitas. Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne yang merupakan tokoh psikolog sosial, Konformitas adalah perubahan sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Ini menandakan bahwa perilaku seseorang dapat berubah dikarenakan norma yang ada dalam suatu kelompok sosial. Hal ini merupakan hal positif apabila mayoritas dalam kelompok sosial tersebut secara patuh melaksanakan norma dan aturan yang ada. Begitu juga sebaliknya, apabila mayoritas dalam kelompok sosial tersebut seringkali melanggar aturan maka timbullah kekhawatiran bahwa penyimpangan akan ternormalisasikan. Perilaku mayoritas secara tidak langsung menarik individu tertentu satu demi satu dan memunculkan rasa aman bagi mereka untuk melakukan hal yang sama meskipun itu tidak sesuai aturan yang akibatnya terciptalah suatu pembenaran sosial.

Seorang psikolog sosial terkenal, Solomon Asch, pada tahun 1951 pernah melakukan eksperimen untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mayoritas terhadap individu. Dia meminta sekelompok orang untuk membandingkan panjang garis antara 2 gambar dimana pada gambar pertama terdapat 1 garis sebagai referensi dan gambar lain terdapat 3 garis yang panjangnya berbeda. Tugasnya hanya menjawab secara verbal garis mana pada gambar kedua yang sama panjangnya dengan garis pada gambar pertama.

Ada 8 orang dalam 1 kelompok eksperimen dimana hanya 1 orang yang menjadi subjeknya sedangkan 7 orang lain berperan sebagai aktor. Setiap orang menjawab satu persatu dan subjek telah diatur agar menjadi orang terakhir yang menjawab. Para aktor telah diberi instruksi untuk menjawab dengan salah sebanyak 12 kali dari 18 perbandingan. Hasilnya adalah dari 50 percobaan, 13 orang konsisten secara keseluruhan pada jawaban yang benar, 31 orang terpengaruh pada beberapa jawaban salah, dan 6 orang hampir secara keseluruhan terpengaruh pada jawaban salah. Ini artinya 37 dari 50 subjek pernah setidaknya sekali terpengaruh oleh jawaban salah yang diberikan oleh para aktor sebagai kelompok mayoritas.

Asch membagi alasan fenomena ini terjadi menjadi tiga berdasarkan pengakuan dalam hasil wawancara terhadap 37 subjek yang cenderung terpengaruh pada jawaban mayoritas: (1) Distorsi Persepsi, subjek yang benar-benar percaya bahwa jawaban mayoritas adalah benar; (2) Distorsi Penilaian, subjek yang setelah beberapa kali perbandingan menjadi tidak yakin dengan jawabannya sehingga akhirnya mengikuti jawaban kelompok mayoritas; dan (3) Distorsi Tindakan, subjek yang sadar bahwa jawaban kelompok mayoritas itu salah namun tetap mengikutinya hanya karena tidak ingin tampak berbeda. Eksperimen ini menjadi bukti kecil bagaimana penyimpangan bisa mempengaruhi individu tertentu. Akibatnya adalah perilaku apapun yang hanya karena dilakukan oleh banyak orang cenderung dianggap benar walau sebenarnya salah.

Fenomena nyata paling sederhana terkait pembahasan ini dapat dilihan di jalan raya. Pengendara seringkali tetap menerobos lampu merah ketika tidak ada kendaraan dari arah lain. Beberapa pengendara yang tidak pernah melanggar lalu lintas terpengaruh untuk ikut menerobos begitu melihat 4 atau 5 kendaraan menerobos secara serentak. Akibatnya, orang yang awalnya ragu menerobos lampu merah untuk pertama kalinya akan menjadi orang pertama yang menerobos lampu merah di lain hari dan mempengaruhi pengendara lain. Rantai kebiasaan inilah yang menjadikan penyimpangan menjadi ternormalisasikan. Dampaknya secara berkepanjangan adalah hilangnya rasa bersalah terhadap perilaku yang jelas-jelas salah.

Begitu juga dalam lingkungan keluarga, orang tua yang mengizinkan anaknya yang masih sekolah menggunakan kendaraan pribadi tanpa SIM atas dasar keefesienan dalam kebutuhan anak untuk pergi-pulang sekolah serta menghemat uang dari penggunaan kendaraan umum. Dalam hal ini, orangtua tersebut secara tidak langsung mengajarkan anaknya untuk melanggar aturan apabila didasari oleh kebutuhan yang mana sebenarnya tetap salah.

Fenomena ini juga dapat ditemukan dalam dunia pendidikan seperti budaya menyontek, kebiasaan yang hanya membaca bahan presentasi tanpa penjelasan lebih lanjut, manipulasi daftar hadir, joki tugas dan banyak hal lainnya. Beberapa peserta didik yang awalnya jujur juga terpengaruh untuk mengikuti kebiasaan buruk tersebut hanya karena dianggap terlalu kaku dan mengganggu kenyaman kelompok. Akibatnya, nilai integritas terkikis karena didominasi oleh pengaruh kebiasaan buruk mayoritas.

Fenomena ini bahkan terjadi dalam konteks keagaaman, contohnya beberapa umat Islam yang secara terang-terangan mewajarkan hubungan antara lawan jenis sebelum pernikahan atau yang biasa dikenal dengan pacaran. Normalisasi ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama namun tetap dilakukan secara terbuka karena hal tersebut telah dilakukan oleh banyak orang. Akibatnya, keyakinan dan perbuatan tidak sejalan yang akhirnya berujung ke kemunafikan.

Dalam psikologi sosial, ada beberapa fenomena pengaruh sosial yang juga menegaskan seberapa kuat efek mayoritas dalam normalisasi penyimpangan: (1) Peer Pressure, merupakan tekanan sosial dari lingkungan sebaya dimana seseorang lebih memilih untuk menyesuaikan diri dengan kelompok walau harus melanggar prinsipnya sendiri atas dasar konsekuensi sosial berupa cibiran maupun pengucilan yang dapat terjadi apabila menolak untuk ikut; (2) Desensitisasi Moral, merupakan proses hilangnya kepekaan seseorang secara bertahap terhadap kesalahan dikarenakan sering menyaksikan penyimpangan yang terlihat tanpa konsekuensi sehingga sadar atau tidak sadar menganggap penyimpangan tersebut adalah hal yang wajar; (3) Justifikasi Sosial, merupakan pembenaran kesalahan atas dasar banyaknya orang yang juga melakukan hal serupa dan digunakan sebagai pertahanan diri untuk menghilangkan rasa bersalah.

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Related post
Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah di Tengah GempuranGlobalisasi

admin

30 Nov 2025

By: Fitriani Saragih. Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya raya, tidak hanya akan sumber daya alam, tetapi  juga kekayaan budaya  dan  bahasa. Dengan  lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar dari  Sabang   sampai  Merauke,  bahasa-bahasa  ini merupakan  pilar  utama identitas lokal dan  nasional. Namun,  di tengah  arus  deras globalisasi dan  dominasi bahasa internasional  serta  Bahasa …

PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT

admin

30 Nov 2025

By: Rizki Rahmat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Salah satu fenomena sosial terluas di abad ke-21 adalah media sosial,seperti Instagram, TikTok, X, dan Facebook. Seringkali dikenal dengan nama X (dibaca Twitter),media sosial berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun, itu juga membentuk perilaku dan cara berpikir yang membentuk masyarakat. Saya …

PERANAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

admin

30 Nov 2025

By: Khairun Nisa Dalam media pembelajaran merupakan komunikasi antara seorang guru dan siswa melalui sebuah alat dan Teknik (Ramadhan,2020). Proses pembelaajaran di sekolah dapat menjadi efektif Ketika komunikasi dan berinteraksi anatra guru dan siswa menggunakan sebuah media pembelajaran berupa alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan informasi dalam pembelajaran. Media juga berfungsi sebagai alat untuk …

Pengembangan Dan Revisi Bahan Ajar Non Cetak

admin

12 Nov 2025

By: Lola Musfira. Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia Pendidikan, terutama dalam cara guru menyajikan materi pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia, sebagai salah satu mata pelajaran inti, kini tidak lagi hanya berfokus pada penguasaan teori kebahasaan, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Salah satu materi yang saya ambil …

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Kritis dan Bermakna Melalui Materi Debat

admin

04 Nov 2025

Pendahuluan Pembelajaran Bahasa Indonesia sering kali dilihat hanya sebagai upaya melatih kemampuan membaca, menulis, dan tata bahasa yang benar. Namun, di balik struktur kalimat dan diksi yang tepat, mata pelajaran ini memegang peran krusial dalam pembentukan nalar dan karakter. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi opini saat ini, kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi secara …

Pengaruh Tiktok Terhadap Perubahan Tingkah Laku Remaja

admin

04 Nov 2025

By: Mawaddah Rahmah. Di tengah dunia yang bergerak secepat guliran jempol di layar ponsel, TikTok muncul sebagai ruang baru tempat para remaja belajar mengenal dunia, dan mungkin, mengenal dirinya sendiri. Setiap tarian, potongan musik, dan video  singkat menjadi semacam bahasa yang dipahami generasi sekarang, bahasa tanpa buku teks, tapi penuh makna sosial. Di ruang digital …