- Critical ReviewMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 9
- Esai dan OpiniPentingnya Melestarikan Bahasa Daerah di Tengah GempuranGlobalisasi
- Esai dan OpiniPENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MASYARAKAT
- Critical ReviewPENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN BAHAN AJAR
- Esai dan OpiniPERANAN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

Jebakan Pernikahan Dini Dan Konflik Sosial Akibat Minimnya Kematangan Emosional
By: Aliskha Zuhra. Pernikahan dini tetap menjadi masalah tersembunyi yang mengancam stabilitas sosial di tengah kemajuan Indonesia. Fenomena ini menyebabkan konflik sosial yang mendalam yang bermula di rumah tangga dan melampaui pelanggaran administratif. Ironisnya, kurangnya kematangan emosional adalah masalah yang paling berbahaya di luar faktor pendidikan dan ekonomi. Konflik dapat terjadi ketika remaja dipaksa memikul tanggung jawab dalam berumah tangga. Ini karena mereka tidak mampu dalam memahami emosi mereka sendiri, menahan keinginan, dan berempati dengan orang lain.
Pernikahan dini di definisikan sebagai ikatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan sebelum berusia 18 tahun. Meski tidak terjadi di semua kasus, sebagian pasangan yang menjalani pernikahan dini belum siap secara fisik, mental maupun emosional. Jumlah kasus di indonesia masih tinggi meskipun UU Nomor 16 tahun 2019 menaikkan usia minimal untuk laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 10-15% pernikahan yang terjadi di daerah pedesaan melibatkan remaja di bawah 18 tahun. Hal ini disebabkan oleh norma sosial, tekanan ekonomi, dan kebiasaan. Sekitar 20% kasus pernikahan dini berujung cerai dalam lima tahun pertama, menurut penelitian Kementerian Agama dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), menjadikannya isu sarat konflik sosial dan ketidakstabilan. Fenomena ini memiliki dampak berantai.
Di masa lalu, pernikahan dini sering dianggap sebagai cara untuk bertahan hidup atau mengikuti aturan adat, terutama di komunitas pedesaan yang bergantung pada pertanian. Namun, sekarang menjadi masalah sosial yang serius dan dalam. Kebanyakan kali, konflik akibat pernikahan dini dimulai sebagai masalah pribadi di antara anggota keluarga tetapi seringkali menyebar menjadi masalah yang melibatkan masyarakat luas, seperti penelantaran anak, kemiskinan antar generasi, dan berpotensi gagal dalam berumah tangga.
Studi Universitas Indonesia (2021) menemukan bahwa salah satu faktor yang menghubungkan pernikahan usia muda dengan disfungsi rumah tangga adalah ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi. Sosiolog menyebutkan bahwa fenomena ini bukan sekedar soal ingin menikah, tetapi lebih kepada kesiapan yang matang. Ketika seseorang menikah dalam kondisi belum siap secara mental dan ekonomi, justru akan menimbulkan masalah baru.
Selain itu, pernikahan dini sering menyebabkan konflik keluarga yang serius. Konflik antara pasangan remaja biasanya berujung pada kekerasan verbal, fisik, atau penelantaran emosional karena mereka kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi secara konstruktif untuk menyelesaikan perselisihan. Perselisihan setiap hari menjadi lebih buruk dan memperburuk lingkaran setan karena kesulitan menghadapi masalah keuangan atau merawat anak. Menurut data UNICEF tahun 2023, risiko putus sekolah mencapai 70% bagi perempuan yang menikah dini, meningkatkan peluang kerja dan meningkatkan ketergantungan ekonomi. Hal ini tidak hanya membatasi kemungkinan pola asuh yang ideal untuk anak-anak mereka, tetapi juga menciptakan siklus kerentanan sosial yang berlangsung lama, di mana anak-anak yang diasuh dengan pernikahan dini berisiko mengikuti kebiasaan orang tua mereka, memperpanjang rantai konflik sosial.
Dalam situasi ini, pasangan dalam lingkaran kemiskinan struktural semakin terjebak oleh keterbatasan usia dan pendidikan. Penghasilan yang tidak stabil menyebabkan konflik keuangan yang berkepanjangan, yang dapat diatasi dengan cara yang tidak sehat seperti menghindari tanggung jawab atau kekerasan ekonomi. Di sini, pertengkaran di rumah menyebar ke orang lain dalam keluarga dan memengaruhi dinamika komunitas, meningkatkan beban sosial.
Tiga perspektif sosiologi bekerja sama untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika ini. Permasalahan dasar dan efek gejolak sosial-emosi ini dapat diuraikan secara menyeluruh dengan menggunakan teori fungsionalisme, konflik, dan interaksi simbolik.
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibuat oleh Talcott Parsons (1951) tidak hanya memberikan penjelasan umum tentang masalah pernikahan dini, tetapi juga menunjukkan bagaimana kurangnya kemampuan emosional mengganggu fungsi stabilisasi keluarga. Kemampuan institusi keluarga untuk menahan tekanan sosial-ekonomi tanpa runtuh karenanya dikenal sebagai “penyerap guncangan” atau shock absorber. Parsons berpendapat bahwa pernikahan berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial karena peran gender yang saling melengkapi, tetapi ketika pasangan muda tidak memiliki kemampuan untuk menangani konflik seperti empati dan mengendalikan diri, institusi ini tidak dapat mencegah anomi situasi ketidakpastian norma dan nilai dalam masyarakat, yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat perceraian dikomunitas dimana pernikahan dini sering terjadi. Akibatnya, ketidaksiapan emosional bukan hanya masalah pribadi, itu adalah gangguan struktural yang mengganggu keseimbangan masyarakat secara keseluruhandan menghubungkannya dengan disfungsi keluarga dan ketidakstabilan sosial yang lebih luas.
Teori Konflik dari Max Weber, melengkapi analisis ini dengan menekankan pernikahan dini sebagai manifestasi ketidaksetaraan kelas dan gender, dimana ketidaksiapsiagaan emosional menjadi alat yang tidak terlihat untuk eksploitasi dan memperburuk perebutan sumber daya. Menurut Weber, kebiasaan masyarakat pedesaan menggunakan pernikahan dini untuk mengontrol status sosial, yang menyebabkan konflik dan perebutan sumber daya. Di sini, dinamika ini diperburuk oleh keterbatasan emosional pasangan muda karena mereka kurang mampu menantang struktur kekuasaan. Akibatnya, konflik rumah tangga menjadi arena mikro untuk perjuangan kelas yang lebih besar, seperti kekerasan ekonomi, yang memperdalam jurang sosial dan menghambat perkembangan emosional kolektif.
Akhirnya, Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead (1934) memberikan pandangan mikro yang mendalam, menekankan bagaimana interaksi sosial membentuk makna emosi individu dan bagaimana proses yang sering terganggu dalam pernikahan dini menghasilkan kedewasaan emosional. Remaja dalam situasi ini menggunakan simbol budaya seperti “menghindari zina” atau tekanan keluarga untuk membangun persepsi “siap”, mengabaikan perkembangan emosional yang sebenarnya. Identitas diri yang negatif dibentuk oleh interaksi sehari-hari yang penuh dengan konflik, seperti perselisihan tentang tanggung jawab. Di sini, emosi yang tidak terkendali menjadi “simbol” kegagalan sosial dan pribadi. Teori ini memberikan penjelasan tentang bagaimana konflik meluas ke komunitas: pasangan muda distigmatisasi secara sosial, yang menyebabkan isolasi yang lebih buruk. Akibatnya, keterbatasan emosional merusak keluarga dan memperkuat norma patriarkis melalui interaksi sehari-hari yang merugikan, menjadikannya kebiasaan yang berkelanjutan.
Dengan dasar teori ini, jelas bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam memutus rantai pernikahan dini dan menumbuhkan kematangan emosional sebagai tema utama penyelesaian masalah untuk menghentikan konflik yang semakin meningkat. Pendidikan formal menunda usia pernikahan dan memberikan akses keuangan, sementara pendidikan non-formal harus termasuk kursus kesehatan mental, seksualitas, manajemen emosi, komunikasi asertif, dan penyelesaian konflik dalam kurikulum sekolah dan keluarga. Selain itu, intervensi struktural sangat penting. Pemerintah harus memperketat dispensasi dan mewajibkan Bimbingan Perkawinan (Bimwin), yang mencakup kursus pengasuhan positif dan pelatihan tentang kematangan emosional. LSM dapat bekerjasama dengan program bimbingan rekan dan kelompok dukungan untuk remaja rentan yang berkonsentrasi pada kesadaran diri dan pengaturan diri sendiri.
Remaja perlu dilatih untuk mengendalikan emosi dan membuat keputusan yang matang pada tingkat individu, sementara pasangan yang sudah menikah dini membutuhkan bantuan untuk mengubah reaksi spontan menjadi tanggapan yang lebih terukur. Untuk mengubah norma masyarakat yang mendorong pernikahan dini, tokoh adat dan agama harus menyampaikan pesan jelas kepada orang tua bahwa usia dewasa secara hukum tidak sama dengan kesiapan mental dan bahwa menunda pernikahan adalah investasi jangka panjang untuk membangun keluarga harmonis dan mengurangi beban konflik di masyarakat. Tetapi pesan ini harus dilegitimasi oleh tokoh agama yang dipercaya karena norma seperti “daripada berbuat maksiat” masih merupakan hambatan besar.
Pada akhirnya, pernikahan dini tidak hanya tentang usia, itu juga tentang kondisi mental dan emosional yang diperlukan untuk bertahan sebagai keluarga. Untuk mencapai solusi yang efektif, diperlukan pendekatan yang melibatkan semua elemen, pendidikan yang meningkatkan kecerdasan emosional, regulasi yang konsisten,dan dukungan psikologis yang inklusif. Indonesia memiliki kemampuan untuk memutus rantai konflik dan menciptakan ketahanan keluarga yang berkelanjutan, memastikan generasi mendatang tidak terjebak dalam masalah yang sama jika mereka menggunakan kematangan emosi sebagai dasar.
admin
30 Nov 2025
By: Fitriani Saragih. Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya raya, tidak hanya akan sumber daya alam, tetapi juga kekayaan budaya dan bahasa. Dengan lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, bahasa-bahasa ini merupakan pilar utama identitas lokal dan nasional. Namun, di tengah arus deras globalisasi dan dominasi bahasa internasional serta Bahasa …
admin
30 Nov 2025
By: Rizki Rahmat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Salah satu fenomena sosial terluas di abad ke-21 adalah media sosial,seperti Instagram, TikTok, X, dan Facebook. Seringkali dikenal dengan nama X (dibaca Twitter),media sosial berfungsi sebagai alat komunikasi. Namun, itu juga membentuk perilaku dan cara berpikir yang membentuk masyarakat. Saya …
admin
30 Nov 2025
By: Khairun Nisa Dalam media pembelajaran merupakan komunikasi antara seorang guru dan siswa melalui sebuah alat dan Teknik (Ramadhan,2020). Proses pembelaajaran di sekolah dapat menjadi efektif Ketika komunikasi dan berinteraksi anatra guru dan siswa menggunakan sebuah media pembelajaran berupa alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan informasi dalam pembelajaran. Media juga berfungsi sebagai alat untuk …
admin
12 Nov 2025
By: Lola Musfira. Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia Pendidikan, terutama dalam cara guru menyajikan materi pembelajaran. Pembelajaran Bahasa Indonesia, sebagai salah satu mata pelajaran inti, kini tidak lagi hanya berfokus pada penguasaan teori kebahasaan, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Salah satu materi yang saya ambil …
admin
04 Nov 2025
Pendahuluan Pembelajaran Bahasa Indonesia sering kali dilihat hanya sebagai upaya melatih kemampuan membaca, menulis, dan tata bahasa yang benar. Namun, di balik struktur kalimat dan diksi yang tepat, mata pelajaran ini memegang peran krusial dalam pembentukan nalar dan karakter. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi opini saat ini, kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi secara …
admin
04 Nov 2025
By: Mawaddah Rahmah. Di tengah dunia yang bergerak secepat guliran jempol di layar ponsel, TikTok muncul sebagai ruang baru tempat para remaja belajar mengenal dunia, dan mungkin, mengenal dirinya sendiri. Setiap tarian, potongan musik, dan video singkat menjadi semacam bahasa yang dipahami generasi sekarang, bahasa tanpa buku teks, tapi penuh makna sosial. Di ruang digital …
18 Dec 2024 2.217 views
By: Siti Nurhalija, Rizky Fadhilah Filsafat pendidikan merupakan cabang filsafat yang berfokus pada kajian tentang hakikat pendidikan, termasuk tujuan, nilai, dan praktiknya. Sebagai disiplin ilmu, filsafat pendidikan berusaha memahami dan menjawab pertanyaan mendasar tentang apa itu pendidikan, mengapa pendidikan penting, dan bagaimana proses pendidikan seharusnya dilakukan. Filsafat pendidikan tidak hanya bertumpu pada teori, tetapi …
03 Jan 2025 1.041 views
Inoe Kamis, 19 Desember 2024, tim dosen dari berbagai program studi di Fakultas Pendidikan Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan, yang terdiri dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Program Studi Ekonomi Manajemen, Program Studi Pendidikan Fisika, dan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di SMP Plus Kasih Ibu …
03 Jan 2025 989 views
Inoe Kamis, 19 Desember 2024, bersama tim dosen dari Fakultas Pendidikan Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di SMP Plus Kasih Ibu Patumbak. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah melalui pemanfaatan teknologi digital. Bertajuk “Sosialisasi Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Mendukung Pembelajaran Berbasis Proyek dan …
Comments are not available at the moment.